Minggu, 23 Oktober 2011

Umat Hindu Adat Kei ''Maluku Tenggara''



A.  Identifikasi Daerah Penelitian
Fokus penelitian dilakukan di desa Tanimbar Kei yang penduduknya mayoritas beragama Hindu dan mempunyai tradisi dan budaya peninggalan leluhur yang masih tersimpan sampai sekarang. Diantaranya rumah adat dan benda-benda tradisional yang dianggap sacral.
Desa ini letaknya berada di wilayah Kec. Ohoira, Kabupaten Maluku Tenggara. Jarak yang ditempuh untuk mencapai desa ini kurang lebih lima jam perjalanan. Transportasi yang digunakan yaitu transportasi laut dengan menggunakan kapal motor laut yang berkapasitas sekitar 40-50 orang.
 Masyarakat Desa Tanimbar Kei memiliki tiga pembagian lokasi tempat tinggal yaitu lokasi atas (ohoratan), lokasi bawah (tahat) dan lokasi  dusun Mun. Mayoritas penduduk yang beragama Hindu tersebar di dua lokasi tempat tinggal yaitu lokasi atas dan bawah. Desa ini memiliki empat komunitas agama yaitu : agama Kristen Protestan, agama Katolik, agama Islam dan agama Hindu. Adapun kondisi geografi dan demografi desa Tanimbar Kei menurut data sensus tahun 2010 adalah sebagai berikut :
  
   
1. Kondisi Geografis Desa                                                                                              
             Luas lahan                  :  35,4 Ha
             Jarak dan waktu         :
                   Jarak dari Desa ke Kecamatan                                         :  18 mil
                   Waktu tempuh dari Desa ke ibukota Kecamatan             :  2.5 jam
                   Jarak dari desa ke Ibukota Kabupaten                             :  20 mil
                   Waktu tempuh dari desa ke Ibukota Kabupaten             :   4  jam
                     
  1. Kondisi demografi
            Jumlah Penduduk
Desa Tanimbar Kei memiliki jumlah penduduk 489 jiwa yang dirinci menurut kelompok umur adalah sebagai berikut :
Tabel I
No
Kelompok Umur (Tahun)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1
0-6
43
2
6-11
84
3
12-20
18
4
20-30
108
5
31-40
79
6
41-46
44
7
47-50
32
8
51-55
26
9
56-60
23
10
61-70
19
11
71 ke atas
12
12
113
1

Jumlah
489

Adapun tingkat pendidikan masyarakat desa Tanimbar Kei cukup bervariasi yaitu sebagai berikut:
            Tabel II
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1
Belum sekolah
24 org
2
Tidak pernah sekolah
-
3
Taman kanak-kanak
43 org
4
Tidak tamat SD
2 org
5
Belum tamat SD
84 org
6
Tamat SD
11 org
7
Tamat SLTP
18 org
8
Tamat SLTA
78 org
9
Tamat Akademi
2 org
10
Tamat S-1
4 org
11
Tamat S-2
1 org

Jumlah
267
           
















Mata Pencahrian Penduduk
Desa Tanimbar Kei merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya bermatapencahrian di laut yaitu sebagai nelayan.
Tabel III
NO
Mata Pencahrian
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1
Petani
60  org
2
Peternak
35  org
3
Nelayan
30  org
4
Bangunan
5   org
5
Pedagang
4  org
6
PNS
9  org
7
Pensiunan
3  org
8
Jasa transportasi laut
9  org
9
Lainnya
28 org

Jumlah
146


            Agama
Kehidupan beragama di desa Tanimbar Kei tergolong majemuk karena ada beberapa agama yang berkembang di daerah tersebut yaitu sebagai berikut :
            Tabel IV
No
Agama
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1
Islam
50  org
2
Katolik
38  org
3
Kristen
61  org
4
Hindu
340 org
5
Budha
-

Jumlah
489


Jumlah Sarana Peribadatan
Ada beberapa sarana peribadatan yang telah dibangun dan difungsikan oleh penduduk Desa Tanimbar Kei sesuai dengan agamanya masing-masing yaitu : 
Tabel V
No
Sarana Ibadah
Jumlah
1
Masjid
1
2
Pura
1
3
Gereja Protestan
1
4
Gereja Katholik
1

Jumlah
4

           






B.  Sejarah Perkembangan Hindu di Desa Tanimbar Kei
 Pada zaman dahulu dari informasi yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan tokoh adat didesa setempat bahwa sekitar tahun 1810 ada seorang tokoh spiritual yang berasal dari Bali Beliau bernama Ketut yang sering di sebut dengan nama Tebtut, beliau mempunya istri yang berasal dari desa Tanimbar Kei yang bernama NenSikre, Beliau kemudian mengajarkan ajaran spiritual kegamaan yaitu ajaran agama Hindu dan taradisi adat. Tetapi jauh sebelum beliau datang sebutan agama Hindu sudah ada di desa ini. Dari hasil wawancara dengan para tokoh adat mengungkapkan bahwa sebutan agama Hindu bagi umat di desa tanimbar Kei sudah ada sebelum zaman penjajahan Belanda. dari hasil wawancara dengan tokoh adat didesa setempat bahwa agama Hindu sudah berkembang pada zaman kerajaan Majapahit. Dalam perkembanganya jauh sebelum masuknya agama Hindu, di desa Tanimbar Kei sudah memegang teguh adat, tradisi dan kepercayaan setempat yaitu kepecayaan terhadap benda-benda sacral, dan mitu (leluhur) yang suci. Setelah perkembangan waktu berjalan masuklah ajaran Hindu di desa ini karena ajaran Hindu bersifat Universal, terbuka dan dapat menyesuaikan diri  dengan teradisi desa setempat maka tokoh adat desa Tanimbar Kei menerima ajaran agama Hindu sebagai suatu keyakinan masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan simbol-simbol yang masih terdapat di rumah-rumah adat yang ada di dalam ajaran Hindu. Salah satunya yaitu keyakinan tentang mitu dan sirih pinang terkandung juga di dalam nilai-nilai ajaran Hindu yaitu konsep Panca Sraddah dan kerangka dasar ajaran Hindu.
Desa Tanimbar Kei terdiri dari dua pembagian lokasi dan satu dusun yang biasa di sebut :
1.      Ohoratan (kampung atas)
Kampung atas memiliki sejarah yang sangat panjang karena pada zaman dahulu para mitu (leluhur) bermukim atau bertempat tinggal di kampung atas. Kampung atas berada tepat di atas tebing yang tingginya sekitar 25 m. kampung atas sangat di sucikan dan di sakralkan oleh umat Hindu di desa Tanimbar Kei. Karena memiliki peninggalan seperti tempat-tempat suci rumah adat yang masih ada sampai sekarang. Ini merupakan warisan turun-temurun yang sangat di sucikan. Benda-benda peningalan seperti rumah adat, Arca (Wadah), meriam yang merupakan peningalan zaman Belanda, gelang yang terbuat dari timah, tembaga,mas dan uang gobang (Pis Bolong)  semua ini sangat berperan dalam melaksanakan proses ritual adat.
Kampung atas biasa di sebut dengan ohoratan. Pada zaman dahulu masyarakat masih bermukim di kampung atas karena mayoritas masyarakat dan tokoh adat beragama Hindu. Setelah perjalan waktu dan masuknya ajaran komunitas lain banyak yang beralih ke komunitas agama lain sehingga banyak yang tinggal di kampung bawah. Banyak hal yang membuat komunitas dari umat lain beralih tempat tinggal yaitu :
a.        Karena Ohoratan (kampung atas) terdapat banyak tempat sakral yang  sangat di sucikan. Mengingat kesucianya itu maka dilarang (pamali) orang melakukan kebisingan atau keributan sehingga sebagian masyarakat desa Tanimbar Kei yang beragama Non Hindu beralih ke kampung bawah dan dusun Mun.
b.      Penerus kepala marga yang tinggal di rumah adat harus baragama Hindu. Ini merupakan aturan tradisi mitu (leluhur) yang tidak boleh dilanggar. Karena akan berdampak buruk bagi kesejahteraan keluarga tersebut dan masyarakat desa Tanimbar Kei.

Dari penjelasan kedua poin di atas. Menjadi pertimbangan bagi komunitas agama lain untuk tinggal di kampung atas karena rasa menghormati dan menghrgai tradisi dan adat istiadat para mitu (leluhur), sehingga merekapun beralih tingal di kampung bawa dan dusun Mun, karena dikhawatirkan apabila di bangun gereja, bunyi lonceng gereja dapat membuat kebisingan di kampung atas pada saat proses pelaksanaan ritual adat dan tradisi Hindu, serta posisi kepala marga yang tinggal di rumah adat atau yang menjaga rumah adat harus memegang teguh ajaran mitu yaitu masih berada pada jalur keyakinan agama Hindu. Sehingga komunitas agama lain baik Islam maupun Kristen beralih tempat tinggal kampung bawa dan dusun Mun.  

2.      Tahat (kampung bawah)
Kampung bawah (Tahat) sudah ada sejak zaman dahulu dan masyarakat yang bermukim di tahat dahulunya mayoritas beragama Hindu. Seiring dengan perkembangan zaman, maka masyarakat yang bermukim di tahat sudah bermacam komunitas yang terdiri dari Islam, Katholik dan Protestan perkembangan dari komunitas Ktolik dan Protestan tidak di bawa masuk ke desa tanimbar Kei melainkan terjadi karena pernikahan campur antara masyarakat Hindu desa Tanimbar Kei dengan komunitan Non Hindu di daerah lain sehingga banyak dari keturunan komunitas lain yang kembali tingal di desa Tanimbar Kei.  Pada tahun 1969  dari hasil rapat para tokoh adat  menyampaikan agar komunitas Non Hindu tersebut bermukim di dusun Mun. Ini semua bertujuan untuk menghormati para leluhur dan menghormati proses kesakralan ritual tradisi yang sering dilakukan di kampung atas yang steril dari suara-suara bisingan. Ini semata-mata untuk menjaga bunyi kumandang sembahyang yang dilakukan dari tempat ibadah komunitas non Hindu agar tidak menggangu proses ritual dan tradisi yang sering dilakukan di kampung atas.     

3.      Dusun Mun
Dusun Mun merupakan sebuah lokasi pemukiman masyarakat yang berada di desa Tanimbar Kei. Letaknya tidak jauh dari kampung atas dan kampung bawah. Mayoritas masyarakat yang tingal di dusun Mun beragama Islam. Masyarakat yang tinggal di dusun Mun masih memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan umat yang berda di kampung atas dan kampung bawah. Semua masyarakat yang berada di ketiga lokasi ini merupakan satu keturunan Nenek moyang dan bersaudara. Masyarakat sudah berada di dusun Mun sejak tahun 1969.
Awal perpindahan masyarakat ke lokasi baru dusun Mun ini, disebabkan karena sekitar tahun 1967 ada masalah kesalapahaman keributan (membunyikan lonceng gereja) pada saat umat Hindu desa Tanimbar Kei sedang melaksanakan tradisi Tate’e. Maka disitulah awal mulanya masyarakat desa Taimbar Kei membentuk dusun Mun sebagai tempat bermukim komunitas Islam, Katolik dan komunitas Protestan. Setelah perkembangan waktu yang cukup lama komunitas Katolik dan Protestan kemudian kembali bemukim lagi di desa Tanimbar Kei sehingga sampai sekarang ini mayoritas yang tingal di dusun Mun  beragama Islam.
Pada awal sejarah masuknya komunitas Islam, para tokoh adat tidak mau menerima ajaran agama islam untuk masuk di desa Tanimbar Kei, ini dibuktikan dengan sebuah symbol kayu yang ditancapkan yang posisinya berada didepan laut Desa Tanimbar Kei sebagi respon tidak setuju akan masuknya komnitas Islam. Yang membawa masuk pertama kali ajaran Islam ke desa Tanimbar Kei adalah Mabal Latar beliau berasal dari desa Banda Eli. Desa ini mayoritas penduduknya beragama Islam lokasinya berada masih sekitar daerah Maluku tenggara.
Sejak saat itulah masyarakat dari desa Banda Eli kemudian mengangkat Desa Tanimbar Kei sebagai Pela (saudara), sehingga simbol kayu tersebut sebagai lambang Pela (persaudaraan). Seiring dengan perkembangan waktu masyarakat desa Tanimbar Kei mulai ada yang  beralih ke ajaran komunitas Islam. Sedikit demi sedikit komunitas islam mulai bertambah sehingga muncul ide dari masyarakat yang masuk komunitas Islam untuk membangun tempat Ibadah atau Mesjid, setelah niat untuk membangun tempat suci ini disampaikan kepada para tokoh adat, para tokoh adat kemudian memberikan lokasi tempat untuk beermukim bagi komunitas islam di dusun Mun yang jaraknya dari kampung atas dan kampung bawah sekitar 2 km. hal ini tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan para tokoh adat tentang suara kumandang masjid yang dapat mengangu jalanya proses ritual dan upacara. Ritual upacara tidak bleh tergangu dengan suara kebisingan dan ini sudah berlangsung turun temurun dari sejak zaman para leluhur      

C. Kondisi Masyarakat Hindu Sebelum Adanya Pura Wuar Masbaat di  Desa Tanimbar Kei
Pada masa sebelum berdirinya Pura Wuar Masbaat, masyarakat pada zaman dulu mayoritas beragama Hindu dan masih belum ada komunitas dari agama lain yang masuk di desa Tanimbar Kei. Dari data hasil wawancara yang diperoleh dari beberapa sumber penting dari tokoh adat mengungkapkan bahwa dari zaman dahulu agama Hindu sudah ada di desa Tanimbar Kei ini (data hasil wawancara tokoh adat, Bpk Cau). Dahulu Umat Hindu memiliki kepercayaan lokal kepada benda-benda sakral dan Mitu. Setelah masuknya agama Hindu di desa ini, tokoh adat kemudian menerima agama Hindu sebagai suatu keyakinan. Dalam proses perkembagan kegamaan dan kehidupan sehari-hari berjalan normal, tidak saling bersingungan antar sesama. Proses keagamaan berjalan normal sesuai dengan ritual dan tradisi setempat. Proses upacara  dipercayakan kepada salah satu pemimpin tokoh adat yang mengetuai kepala marga di masing-masing rumah adat, kepala marga inilah  yang membawakan sirih pinang sebagai wujud mewakili seluruh keluarga untuk menyampaikan rasa syukur dan terimah kasih telah melindungi dan menjaga keluarga dan desa Tanimbar Kei.
             Ritual-Ritual yang dijalankan dipimpin oleh tokoh-tokoh adat yang telah dipercayakan oleh masyarakat setempat. Ritual sesajen seperti sirih, kapur pinang, tembakau, kopi dan sopi, tidak lepas dari setiap kegiatan ritual karena merupakan suatu ciri khas desa ini dalam menjalankan proses ritual kapada Sang Hyang Widhi dan para leluhur.        
Kehidupan yang sederhana dan harmonis terus berjalan dengan baik dan normal. Dari  hasil wawancara penulis dengan tokoh adat ternyata sudah ada rencana para tokoh adat zaman dulu sekitar tahun 1952 yang berkeinginan untuk membangun tempat suci Pura. Karena pada saat itu tidak ada orang sebagai pendorong dan memotifasi untuk membantu niat baik tokoh adat maka ini belum bisa diwujudkan. Kemudian wacana itu berlalu begitu saja karena umat di desa ini belum mengerti tata cara untuk membangun tempat suci Pura ini. Tetapi pesan yang disampaikan para tokoh adat pada zaman dulu, masih tersimpan di ingatan masyarakat desa Tanimbar Kei. Sehingga semangat untuk membagun tempat suci pura masih tersimpan dihati  masyarakat yang mempunyai kerinduan untuk membangun tempat suci atau Pura.
        Berselang waktu yang cukup lama, masuklah komunitas dari agama lain. Seiring perkembangan zaman yang terus berkembang dan tidak dapat dihindari, sehingga membuat sedikit demi sedikit umat Hindu mulai terpengaruh dengan kehidupan sosial yang moderen. Semakin hari pengaruh dari lingkungan yang datang dari luar membawa dampak yang kurang baik  bagi umat Hindu di desa Tanimbar Kei, baik secara mental dan Sraddha (keyakinan), maka umat di desa ini mulailah berubah keyakinan dengan adanya kecendrungan merosot akibat pengaruh sosial dari luar yaitu seperti masuknya kaum misionaris.
        Melihat perkembangan yang begitu banyak pengaruh dari desa-desa tetangga disekitarnya yang membuat mental dan keyakinan umat semakin merosot, diakibatkan kerena pertanyaan-pertanyaan yang semakin kritis seputar Hindu yang salah satunya seputar pura atau tempat ibadah umat Hindu yaitu pertanyaan kritis seprti ; ‘kenapa umat Hindu yang mayoritas belum mempunyai tempat ibadah, sedangkan umat lain yang minoritas sudah mempunyai sarana tempat ibadah’, pemahaman-pemahaman negatif  ini tanpa disadari bertujuan untuk menyudutkan dan mencari peluang atau mencari celah untuk kemudian merangkul umat Hindu yang ada di desa Tanimbar Kei’. Hal ini membuat timbulnya dilema mental sraddha dan bhakti karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman umat tentang tempat suci atau pura.

D.    Kondisi Masyarakat Setelah Berdirinya Pura Wuar Masbaat di Desa Tanimbar Kei
Setelah perkembagan waktu sedikit demi sedikit umat Hindu yang ada di desa Tanimbar Kei mulai berkurang dan berpindah ke agama lain, hal ini diakibatkan karena mulai merosotnya mental dan sraddha, dengan melihat keadaan yang ada Tradisi semakin hari semakin berkurang kemampuannya untuk menopang keyakinan umat Hindu yang ada di desa ini, maka melalui PHDI Kab Maluku Tenggara yang di ketuai oleh Bpk. M Yamko selaku ketua memikirkan satu solusi dan diwujudnyatakan dengan di adakannya rapat di kalangan tokoh-tokoh adat dan masyarakat Hindu di desa ini. Dengan adanya rapat sebanyak enam kali dengan tokoh-tokoh adat maka tertuang suatu kesepakatan dan keinginan untuk membuat tempat suci atau Pura dan ini sudah disetujui oleh Mitu (leluluhur), para tokoh adat dan umat Hindu di desa Tanimbar Kei kemudian disepakati bersama dengan memberikan nama Pura Wuar Masbaat. Kemudian pada tgl 27 agustus 2007 dibangunlah Pura yang diberi nama Pura Wuar Masbaat dengan bantuan dana pertama dari pemerintah dalam hal ini melalui Depag RI, kemudian bantuan dari umat sedharma dan dari pemerintah Daerah setempat. Sampai sekarang ini proses pembangunan pura Wuar Masbaat masih dalam proses pembangunan. Proses pembangunan sudah mencapai 90% selesai.
Stelah berdrinya Pura Wuar Masbaat aktifitas keagamaan sudah mulai dilaksanakan didalam lokasi pura. Senyum bahagia tergambar diwajah umat Hindu di desa ini karena sudah berdirinya Pura Wuar Masbaat yang walaupun masih dalam proses pembangunan. Antusias umat baik anak-anak maupun orang dewasa mulai lebih bersemangat melakukan kegiatan keagamaan hal ini terlihat dengan adanya sembahyang bersama yang diaksanakan pada hari-hari biasa maupun hari raya besar.
Rasa percaya diri dan kekutan spritual mulai bangkit di dalam diri umat Hindu di desa ini. Kalimat-kalimat yang menyindir dan menyudutkan umat Hindu di desa ini tidak terdengar dan tidak terlihat lagi. Proses ritual tradisi berjalan dengan sangat hikmat karena di topang dengan kehadiran pura Wuar Masbaat sebagai semangat spritual keagamaan